Untuk kesekian harinya lagi-lagi aku
malas berangkat sekolah. Aku seperti besi dan kasurku seperti magnet yang
selalu menarikku untuk tidak pergi meniggalkannya. Badanku pun terasa lemas tak
mampu bangkit dari tempat tidur. Rasanya aku masih ingin berlama-lama lagi
berbaring, selimut kutarik lagi menutupi kepala. Kiemarin aku telah melakukan
banyak aktifitas, mulai dari bimbel, kerja kelompok, latihan nari, sampai
latihan musikalisasi. Jadi, tidak ada salahnya jika hari ini akan aku
dedikasikan untuk berbaring seharian di bawah selimut.
Namun, konflik batin mengusikku,
banyak sekali urusan, janji, dan aktivitas penting yang akan aku lewatkan hari
ini jika aku tidak bangkit dari tempat tidur. Hari ini seharusnya akau
mengikuti try out Ujian Nasional di tempat bimbel, mengerjakan tugas kelompok,
latihan musikalisasi untuk praktek Bahasa Indonesia dan latihan nari untuk
tugas SBK. Jika aku tidak mengikuti try out, kasian sekali orangtuaku yang
sudah mahal-mahal membayar bimbel agar aku lulus ujia. Lalu latihan nari akan
berantakan jika aku tidak datang.
Semua konflik batin ini membuat
dadaku sesak, aku pun memutuskan untuk tidur di bawah selimut, melupakan
semuanya. Aku manusia biasa yang butuh beristirahat. Meskipun sebenarnya yang
aku alami adalah rasa malas, bukan kebutuhan akan istirahat. Aku yakin sehari
tanpaku semua akan baik-baik saja. Aku masih bisa mengikuti try out bulan
depan, mengerjakan tugas kelompok yang dikumpulkan masih seminggu lagi, latihan
musikalisasi besok hari, dan untuk latihan nari sebenarnya tidak memerlukan
latihan yang keras. Pokoknya besok masih sempat.
Suara tahlilan itu membangunkanku
dari tidurku yang cukup lelap hari ini. Aku perlu berfikir sejenak untuk
merespons mengapa ada suara orang tahlilan di dalam rumahku. Setelah selesai
mengumpulkan tenaga, aku pun bangkit dari tempat tidur menuju ke sumber suara
itu. Aku kaget bukan main melihat ada mayat terbujur kaku di ruang tengah,
siapa yang meninggal? Aku masih ketakutan, orang-orang itu berada di dekatku,
tapi aku merasa sangat jauh dengan mereka. Aku bingung apa yang sebenarnya
terjadi. Sampai akhirnya aku berteriak histeris ketika melihat sosok mayat itu
wajahnya sangat mirip denganku.
Badanku terasa sangat lemas, semua
keganjilan ini membuatku bingung. Suara tahlilan itu masih sayup-sayup
terdengar. Apakah aku sudah meninggal? Lalu bagaimana dengan try outku? Tugas
kelompok? Latihan musikalisasi? Latihan nari? Bagaimana dengan janji-janji yang
telah aku buat, amanah yang telah aku terima, dan tanggung jawab yang belum
sempat aku laksanakan? Aku sadar, untuk waktu tak ada kata “besok masih
sempat”. Kesempatan itu bisa datang dan pergi tanpa permisi.***
Gumiwang Tresna
9E, SMPN 1 Purwakarta