[Review] Ano Hana

on Rabu, 09 April 2014

Anime ini berjudul lengkap "Ano Hi Mita Hana no Namae wo Bokutachi wa Mada Shiranai" yang kalau saya artiin jadi "kita masih belum tahu nama bunga yang kita lihat hari itu". Berhubung panjang banget dan ribet untuk diomongin, jadi disingkat "Ano Hana" yang artinya "bunga itu". 

Anyway.
 
Saya dapet anime ini dari temen, tapi mulai nonton semalem dari sekitar jam 9-an dari episode 1 sampai episode 5, terus pause dulu sejam buka Tumblr, terus diterusin lagi sampai tamat (episode 11) selesai jam 3.30. Dan selama beberapa jam itu masih bisa nahan nangis, tapi di episod 11 gabisa ditahan lagi. *tapi nangis biasa aja ga sampe ngebangunin tetangga.
Super Peace Busters 

Anime ini bercerita tentang enam orang anak yang berteman baik dan membentuk "Super Peace Busters" bersama. Salah satu darimereka, Menma meninggal pada suatu hari. Kematian Menma membawa perubahan besar dalam hidup mereka, yang kemudian berpencar menjalani hidup masing-masing.Beberapa tahun kemudian ketika mereka sudah remaja, Menma kembali muncul di depan seorang dari mereka, Yadomi Jinta, dan meminta permohonannya untuk dikabulkan. Menma sendiri lupa permohonannya itu apa, tapi ia yakin permohonannya itu hanya dapat dikabulkan dengan berkumpulnya para anggota Super Peace Busters. Jinta, satu-satunya yang dapat melihat Menma, meminta bantuan kepada teman-teman masa kecilnya itu, tapi benar-benar tidak mudah, karena mereka semua sudah berubah. 
Berhasilkah mereka mengabulkan permohonan Menma?



                                                                                                   Menma

Pokoknya silakan tonton dan menangislah. Cocok banget buat orang-orang yang menikmati ceritanya dengan tangisan. Dan soundtracknya ga kalah keren...

Besok Masih Sempat

on Sabtu, 22 Maret 2014


   
            Untuk kesekian harinya lagi-lagi aku malas berangkat sekolah. Aku seperti besi dan kasurku seperti magnet yang selalu menarikku untuk tidak pergi meniggalkannya. Badanku pun terasa lemas tak mampu bangkit dari tempat tidur. Rasanya aku masih ingin berlama-lama lagi berbaring, selimut kutarik lagi menutupi kepala. Kiemarin aku telah melakukan banyak aktifitas, mulai dari bimbel, kerja kelompok, latihan nari, sampai latihan musikalisasi. Jadi, tidak ada salahnya jika hari ini akan aku dedikasikan untuk berbaring seharian di bawah selimut.
            Namun, konflik batin mengusikku, banyak sekali urusan, janji, dan aktivitas penting yang akan aku lewatkan hari ini jika aku tidak bangkit dari tempat tidur. Hari ini seharusnya akau mengikuti try out Ujian Nasional di tempat bimbel, mengerjakan tugas kelompok, latihan musikalisasi untuk praktek Bahasa Indonesia dan latihan nari untuk tugas SBK. Jika aku tidak mengikuti try out, kasian sekali orangtuaku yang sudah mahal-mahal membayar bimbel agar aku lulus ujia. Lalu latihan nari akan berantakan jika aku tidak datang.
            Semua konflik batin ini membuat dadaku sesak, aku pun memutuskan untuk tidur di bawah selimut, melupakan semuanya. Aku manusia biasa yang butuh beristirahat. Meskipun sebenarnya yang aku alami adalah rasa malas, bukan kebutuhan akan istirahat. Aku yakin sehari tanpaku semua akan baik-baik saja. Aku masih bisa mengikuti try out bulan depan, mengerjakan tugas kelompok yang dikumpulkan masih seminggu lagi, latihan musikalisasi besok hari, dan untuk latihan nari sebenarnya tidak memerlukan latihan yang keras. Pokoknya besok masih sempat.
            Suara tahlilan itu membangunkanku dari tidurku yang cukup lelap hari ini. Aku perlu berfikir sejenak untuk merespons mengapa ada suara orang tahlilan di dalam rumahku. Setelah selesai mengumpulkan tenaga, aku pun bangkit dari tempat tidur menuju ke sumber suara itu. Aku kaget bukan main melihat ada mayat terbujur kaku di ruang tengah, siapa yang meninggal? Aku masih ketakutan, orang-orang itu berada di dekatku, tapi aku merasa sangat jauh dengan mereka. Aku bingung apa yang sebenarnya terjadi. Sampai akhirnya aku berteriak histeris ketika melihat sosok mayat itu wajahnya sangat mirip denganku.
            Badanku terasa sangat lemas, semua keganjilan ini membuatku bingung. Suara tahlilan itu masih sayup-sayup terdengar. Apakah aku sudah meninggal? Lalu bagaimana dengan try outku? Tugas kelompok? Latihan musikalisasi? Latihan nari? Bagaimana dengan janji-janji yang telah aku buat, amanah yang telah aku terima, dan tanggung jawab yang belum sempat aku laksanakan? Aku sadar, untuk waktu tak ada kata “besok masih sempat”. Kesempatan itu bisa datang dan pergi tanpa permisi.***


Gumiwang Tresna
9E, SMPN 1 Purwakarta